pengarang
Berkah Ayat-ayat Cinta Rp 1,5 Miliar Tak ada alasan tunggal mengapa novel itu begitu laris dan, konon, memecahkan rekor best seller di Asia Tenggara.
Habiburrahman El Shirazy duduk tenang di kursi panjang, mendengarkan saran, kritik, pendapat, juga pujian dari hadirin dalam acara Bedah Buku Ketika Cinta Bertasbih 2 (KCB 2) di toko Gramedia Matraman, Jakarta, awal Desember lalu.
Penampilannya yang sederhana --mengenakan kemeja batik katun, bercelana polyester coklat susu, dan hanya bersandal --jauh dari kesan bahwa dialah penulis novel yang menikmati royalti sekitar Rp 1,5 miliar dari karya-karyanya. Salah satu karyanya, Ayat-ayat Cinta (AAC), yang diterbitkan Penerbit Republika sejak Desember 2004, bukan hanya meledak di pasar buku, tapi berkali-kali meledak. "Saya sendiri sampai lupa sudah cetakan keberapa," tuturnya tersenyum seraya melirik Tommy Tamtomo, Direktur Utama Penerbit Republika, yang duduk di sebelahnya.
Dalam catatan Tommy, sampai Desember 2007 ini AAC memasuki cetakan ke-30. Jumlahnya sekitar 300 ribu buku dan diperkirakan akan terus bertambah. "Permintaan masih terus mengalir. Bulan lalu kami mencetak 10 ribu eksemplar untuk stok pameran buku tahun depan, tapi ternyata malah sudah habis duluan," kata Tommy.
Ada momen lain yang diperkirakan akan mendongkrak lagi oplah AAC. Novel setebal 420 halaman dan dijual Rp 43.500 per buku itu telah dibuat film oleh MD Enterprais. "Saya sudah nonton preview-nya," tutur Habiburrahman yang akrab dipanggil Kak Abik atau Kang Habib pekan lalu. Dalam waktu dekat film itu akan diedarkan.
Logikanya, menurut Tommy dan Kang Habib, pasar film dan pasar buku saling mengisi. Tapi, satu hal yang membuat Tommy optimistis bahwa oplah buku itu akan bertambah pada bulan-bulan mendatang: "Banyak orang yang masih penasaran membaca Ayat-ayat Cinta."
Melihat peluang pasar yang masih terbuka itu, Tommy berencana menerbit AAC edisi luks. "Kami sudah menerbitkan edisi hard cover, dan sekarang stoknya sudah habis," ujar Tommy.
Dia mengakui, dari sisi pasar, tak ada alasan tunggal mengapa novel itu begitu laris dan, konon, memecahkan rekor best seller di Asia Tenggara. Padahal, ketika bulan-bulan awal novel itu diterbitkan, Desember 2004-Februari 2005, publikasinya sama seperti buku-buku lain terbitan Republika. Tak ada publikasi atau iklan khusus. "Kami hanya memuat iklannya di Harian Republika," tutur Tommy, mantan Pemimpin Redaksi Harian Republika itu.
Bedanya, sejak buku itu meledak di pasar sekitar Maret 2005, Kang Habib selalu sibuk diundang ke berbagai acara "Jumpa Penulis" sebagai narasumber. Nama acaranya bermacam-macam: "Jumpa Pengarang", "Bedah Buku", "Temu Penulis", atau apa pun, yang intinya novel itu memperoleh sambutan hangat di kalangan pembaca novel di berbagai kota. "Dalam dua tahun ini saya hampir tiap minggu diundang menjadi narasumber di berbagai acara seperti itu," kata Kang Habib. "Saya sampai lupa entah berapa kali naik pesawat."
Ayah dua anak --Muhammad Neil Author, 21 bulan, dan Muhammad Ziaul Kautsar, 3 bulan --kelahiran Semarang, 30 September 1976, ini tak ubahnya seorang da'i atau selebritas. "Yang namanya lulusan pondok pesantren, awalnya ngomong buku, lama-lama merembet juga ke soal agama. Bedah bukunya cuma sekali, ceramah agamanya bisa tujuh kali," tutur lulusan Madrasah Aliyah Program Khusus MAPK Solo (1995) dan belajar kitab Kuning di Pondok Pesantren Al Anwar, Mranggen, Demak, ini tertawa.
Di samping bolak-balik terbang dari Semarang ke berbagai kota, bahkan di luar Jawa dan luar negeri (di Hongkong), untuk menghadiri acara jumpa peulis, Kang Habib selalu disibukkan oleh kegiatan yang layaknya dilakukan selebritas: melayani permintaan tanda tangan dan foto bersama. Ini bukan semacam servis sampingan, tapi sudah menjadi satu paket acara yang, apa boleh buat, tak bisa ditolak. "Dalam sebuah pameran buku, saya pernah menandatangani buku sejak sore sampai jam 09.00 malam," tuturnya.
Seusai acara bedah buku KCB 2 di toko Gramedia, Matraman, misalnya, belum sempat bangkit dari tempat duduknya, Kang Abik dikerubuti beberapa perempuan berjilbab yang sudah membeli novel itu untuk ditandatangani. Puluhan kali dia menggoreskan tanda tangan dan nama dirinya dalam huruf Arab. "Tanda tangan saya memang begitu," tutur lulusan Fakultas Ushuludin, Jurusan Hadis, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1999), ini kalem.
Anak pertama dari enam bersaudara keluarga santri pasangan H. Saerozi dan Hj. Siti Rodhiyah ini tampak sabar melayani permintaan tanda tangan para pembacanya. Di saat sibuk meladeni permintaan itu, ada saja di antara mereka yang berusaha duduk mepet-mepet di samping Kang Habib, atau pasang aksi di belakangnya, untuk dipotret bersama. Lalu, dia mengajak istri dan memangku kedua anaknya untuk berfoto ria bersama para penggemarnya. "Selain foto bersama, ketika ada acara di Gontor, sekali gebrak saya menandatangani 400-an buku," ujarnya tertawa.
Dari kontak dengan pembaca seperti itu, tak jarang berubah menjadi teman dan kemudian menjadi relasi yang akhirnya menjadi saudara dalam lingkaran pergaulan yang mesra. Bagi dia, itu adalah berkah yang wajib disyukuri dan tak terukur oleh rupiah. Ayat-ayat Cinta bukan sekadar novel atau buku. Ia membawa berkah dan rezeki yang tak disangka-sangka. "Orang tua bilang, itulah rezeki untuk anak," tuturnya. Ketika AAC sedang laris-larisnya, Februari 2006, anaknya yang pertama lahir dan diberi nama Muhammad Neil Author.
Jauh sebelum itu, September 2004, sebelum AAC dipublikasikan, dia berhajat untuk menjadikannya sebagai mahar (mas kawin). "Benar, ketika saya menikah, mahar saya adalah Ayat-ayat Cinta yang masih berupa print-out," tutur suami Muyasarotun Sa'idah yang mengaku gemar membaca karya-karya beberapa penulis di antaranya Emha Ainun Nadjib, Kuntowijoyo, dan Ahmad Tohari ini.
Sejak masih mengendap dalam kepala, AAC menyimpan beberapa cerita yang mengesankan bagi penulisnya. "Novel itu saya tulis untuk melawan kebosanan dan perasaan tidak berdaya," tutur Kang Habib yang sedang menempuh program studi Pasca Sarjana Jurusan Hadis (Akademi Pengajaran) Malaya University. Beberapa bulan setelah pulang dari Mesir (2002), dia mengalami kecelakaan lalu-lintas di Yogyakarta. Kakinya patah. "Saya dikarantina oleh ibu saya. Tak boleh keluar rumah. Saya bosan bukan main dan merasa tak berdaya" tuturnya.
Untuk melawan kebosanan itulah, dia berbuat sesuatu untuk membangkitkan semangat hidupnya. "Saya buka komputer dan coba-coba menulis. Eh… ketemulah file lama saya," ceritanya. File itu adalah sebuah cerpen berjudul Suatu Hari di Musim Panas, yang pernah dia tulis saat kuliah di Kairo. Karena judulnya dirasa tidak menarik, cerpen yang baru dua lembar itu macet di tengah jalan. "Tapi, hikmah, saya dapat mood dan atmosfer musim panas. Wusss… angin musim panas Mesir terasa berembus kuat membakar semangat saya. Terus saja, saya ikuti mood itu," tuturnya bersemangat.
Di saat itulah, tiba-tiba melenting kata-kata "ayat-ayat cinta" dalam benaknya. Kata-kata itu meluncur ketika suatu hari dia membaca Al Qur'an surat Az Zuhruf ayat 67. "Saya ingat waktu itu tahun 2001. Begitu menemukan kata-kata itu, terpikir oleh saya, suatu saat saya ingin menulis cerita tentang ayat-ayat cinta," katanya. Dalam bahasa Indonesia, ayat itu berbunyi: "Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa."
Dalam penafsiran Kang Habib, ayat itu merupakan "undang-undang" untuk saling mencintai. "Kuncinya terletak pada kata-kata 'kecuali orang-orang bertakwa.' Itu tinggi sekali maknanya," ujarnya. Begitu menemukan pintu inspirasi itu, dia mulai mengetik tanpa henti sebulan penuh. "Ketika saya print jumlahnya 313 halaman folio. Entah kebetulan atau tidak, angka itu adalah jumlah sahabat Rasulullah pada saat Perang Badar," tuturnya.
Naskah itu kemudian dia tunjukkan kepada beberapa teman penulis, antara lain Ahmad Tohari dan Ahmadun Yosi Herfanda. "Rencananya novel itu akan kami terbitkan sendiri, tapi Ahmadun mengusulkan agar dimuat dulu sebagai cerita bersambung di Harian Republika," tutur lulusan Postgraduate Diploma (Pg.D) S2 The Institute for Islamic Studies in Cairo (2001) ini.
Menurut Ahmadun, redaktur budaya Republika, judul Ayat-ayat Cinta punya daya tarik tersendiri. "Sebelum membaca isinya, saya sudah tertarik judulnya," katanya. Ceritanya juga sangat layak dimuat sebagai cerita bersambung. "Islami romantis, yang tokohnya bisa diteladani." Kisahnya tentang seorang mahasiswa Indonesia bernama Fahri yang kuliah di Al Azhar, Cairo. Dia pintar, rajin, ramah, taat beragama, aktivis kampus, dan romantis pula. Ceritanya berpilin antara tokoh utama yang dicintai gadis-gadis --Maria, Noura, Nurul, dan muslimah jelita bercadar ketuturan Jerman-Turki bernama Aisha.
Dalam sastra Indonesia, novel semacam itu sebenarnya masuk pada genre sastra pop. Bagi Kang Habib, novel itu mau dimasukkan atau digolongkan sastra apa pun tidak masalah. "Saya menulis mengkuti 'rumus umum' yang berlaku di pesantren," tuturnya. Rumus dalam bahasa Arab itu berbunyi khotibu annas 'ala qodri uqulihim. Terjemahan bebasnya kira-kira "bicaralah sesuai kemampuan orang yang kamu ajak bicara." Menurut Kang Habib, itu kunci komunikasi. "Jadi, saya menulis agar mudah dipahami oleh segmen pembaca," katanya.
Baru beberapa hari AAC dimuat Republika (April 2004), kata Ahmadun, banyak saran dari pembaca agar diterbitkan. "Publikasi pun menular dari mulut ke mulut. Dan, itu besar sekali pengaruhnya," ujarnya. Pada saat yang sama, Kang Habib juga menerima permintaan dari beberapa penerbit. "Saya bilang pada mereka, 'maaf, sudah ada yang minang duluan'," tuturnya tersenyum.
Bagi Penerbit Republika, AAC juga membawa berkah tersendiri. Popularitas AAC mengatrol buku-buku lain, terutama karya-karya Kak Abik, yang sebelumnya diterbitkan oleh Pesantren Karya dan Wirausaha, Basmala Indonesia, Semarang, pesantren yang didirikan oleh Kang Abik. Pudarnya Pesona Cleopatra, Di Atas Sajadah Cinta, disusul Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2, adalah sebagian buku yang masuk deretan best seller.
Untuk tiap buku AAC, menurut Tommy, Kang Habib menerima royalti 12 persen dari harga jual. "Ditotal dengan buku-buku yang lain, jumlahnya sekitar Rp 1.5 miliar," kata Tommy. "Dalam beberapa bulan ini, tiap bulannya kami mengirim royalti Kang Habib Rp 100 juta." Kang Habib yang duduk sebelahnya tersenyum dan mengangguk-angguk pelan. "Uang itu sebagian sudah kami belikan tanah untuk pesantren dan sekolah di Semarang," kata Kang Habib menimpali.
Dia bercerita, pekan-pekan ini sedang menunggu kabar dari penerbit di Kanada dan Autralia. "Setelah diterjemahkan dalam bahasa Malaysia, novel itu rencananya juga akan diterbitkan di Kanada dan Australia. Sudah ada pembicaraan, tapi belum putus," ujarnya.
Jika tak ada aral melintang, Januari 2008, akan ada acara Napak Tilas Ayat-ayat Cinta ke Mesir. Dengan membayar 1.200 dolar, peserta wisata dapat mengunjungi beberapa lokasi yang dijadikan setting cerita AAC. "Ide itu datang dari para pembaca juga dan sudah banyak yang mendaftar," kata Tommy. Momennya sekalian memanfaatkan pameran buku internasional di Kairo.
EH Kartanegara